Di tahun 2015 ini masih ada yang tidak tahu
blangkon? Lho, katanya cinta budaya dan tradisi Indonesia, masa tidak tahu
blangkon? Padahal, belakangan ini saya lihat sudah semakin banyak yang menjual
dan memakai blangkon lho di Indonesia ini. Lantas, buat yang sudah memakainya,
tahukah kalian sejarah blangkon?
Mengulas sejarah blangkon tentu saja akan terlalu panjang untuk dijabarkan di tulisan saya ini. Saya akan mencoba meringkasnya sehingga lebih mudah dimengerti bersama-sama. Di masyarakat Jawa, khususnya di zaman dahulu, ada legenda tentang Aji Saka. Anda tahu tentang cerita legenda ini?
Benar, di legenda inilah konon keberadaan blangkon mulai disebut-sebut. Lebih tepatnya saat Aji Saka menggelar sejenis kain ikat kepala yang kemampuannya dapat menutup seluruh tanah Jawa! Dengan kain itulah ia berhasil mengalahkan sang raksasa penguasa tanah Jawa, Dewata Cengkar. Memang masih belum jelas apakah ikat kepala yang dimaksud adalah blangkon atau bukan tapi yang jelas pada masa ini pria Jawa sudah mulai memakai ikat kepala yang bisa diperkirakan menjadi asal mula blangkon.
Lantas, bagaimana dengan yang mengatakan bahwa blangkon juga dipengaruhi budaya lain? Beberapa teori dan sejarah mencatat bahwa memang ada sejumlah pengaruh dari budaya Hindu dan Islam yang diserap oleh orang Jawa dalam pemakaian blangkon. Mereka mendapatkannya dari pedagang Gujarat yang kerap menggunakan sorban. Kemudian, kebiasaan memakai kain panjang dan lebar di kepala ini pun mulai diterapkan oleh masyarakat Jawa.
Ada pula teori lain yang mengatakan bahwa blangkon diciptakan berkaitan dengan krisis ekonomi di zaman dahulu. Saat itu para petinggi keraton lantas meminta seniman untuk menciptakan ikat kepala yang hanya menggunakan separuh panjang kain dari biasanya. Karena saat itu kain termasuk sulit didapatkan. Sebelumnya memang para leluhur kita gemar menggunakan sorban yang kompleks dan membutuhkan kain yang cukup panjang.
Dulu, seniman adalah sosok yang dipercaya untuk membuat blangkon, dengan memperhatikan pakem-pakem yang berlaku tentunya. Semakin pakem tersebut dipenuhi, maka semakin tinggi nilai blangkon tersebut. Selain dari pemenuhan pakem tersebut, penilaian blangkon juga bergantung pada sejauh mana seseorang memiliki standar cita rasa dan pemahaman akan etika sosial. Di sinilah lantas muncul teori bahwa pakem yang berlaku untuk blangkon, tidak hanya harus dipenuhi oleh para pembuatnya, namun juga para pemakainya.
Bentuk blangkon pun bermacam-macam. Ada yang disebut bergaya Yogyakarta dengan tonjolan di bagian belakangnya, ada juga yang dibilang bergaya Surakarta dan biasa disebut sebagai blangkon model trepes. Selain suku Jawa, ada suku-suku lain di Indonesia yang juga menggunakan ikat kepala yang menyerupai blangkon. Misalnya suku Sunda, Madura, Bali, dan lain-lain. Namun tentu saja pakem dan bentuk ikatnya berbeda-beda.
Memang pada akhirnya, tidak ada yang tahu pasti, atau tidak ada yang berani memastikan asal mula para pria Jawa memakai tutup kepala seperti itu. Namun itu bukan berarti menghalangi kita untuk mencintai dan dengan bangga memakai pakaian tradisional Indonesia.
Mengulas sejarah blangkon tentu saja akan terlalu panjang untuk dijabarkan di tulisan saya ini. Saya akan mencoba meringkasnya sehingga lebih mudah dimengerti bersama-sama. Di masyarakat Jawa, khususnya di zaman dahulu, ada legenda tentang Aji Saka. Anda tahu tentang cerita legenda ini?
Benar, di legenda inilah konon keberadaan blangkon mulai disebut-sebut. Lebih tepatnya saat Aji Saka menggelar sejenis kain ikat kepala yang kemampuannya dapat menutup seluruh tanah Jawa! Dengan kain itulah ia berhasil mengalahkan sang raksasa penguasa tanah Jawa, Dewata Cengkar. Memang masih belum jelas apakah ikat kepala yang dimaksud adalah blangkon atau bukan tapi yang jelas pada masa ini pria Jawa sudah mulai memakai ikat kepala yang bisa diperkirakan menjadi asal mula blangkon.
Lantas, bagaimana dengan yang mengatakan bahwa blangkon juga dipengaruhi budaya lain? Beberapa teori dan sejarah mencatat bahwa memang ada sejumlah pengaruh dari budaya Hindu dan Islam yang diserap oleh orang Jawa dalam pemakaian blangkon. Mereka mendapatkannya dari pedagang Gujarat yang kerap menggunakan sorban. Kemudian, kebiasaan memakai kain panjang dan lebar di kepala ini pun mulai diterapkan oleh masyarakat Jawa.
Ada pula teori lain yang mengatakan bahwa blangkon diciptakan berkaitan dengan krisis ekonomi di zaman dahulu. Saat itu para petinggi keraton lantas meminta seniman untuk menciptakan ikat kepala yang hanya menggunakan separuh panjang kain dari biasanya. Karena saat itu kain termasuk sulit didapatkan. Sebelumnya memang para leluhur kita gemar menggunakan sorban yang kompleks dan membutuhkan kain yang cukup panjang.
Dulu, seniman adalah sosok yang dipercaya untuk membuat blangkon, dengan memperhatikan pakem-pakem yang berlaku tentunya. Semakin pakem tersebut dipenuhi, maka semakin tinggi nilai blangkon tersebut. Selain dari pemenuhan pakem tersebut, penilaian blangkon juga bergantung pada sejauh mana seseorang memiliki standar cita rasa dan pemahaman akan etika sosial. Di sinilah lantas muncul teori bahwa pakem yang berlaku untuk blangkon, tidak hanya harus dipenuhi oleh para pembuatnya, namun juga para pemakainya.
Bentuk blangkon pun bermacam-macam. Ada yang disebut bergaya Yogyakarta dengan tonjolan di bagian belakangnya, ada juga yang dibilang bergaya Surakarta dan biasa disebut sebagai blangkon model trepes. Selain suku Jawa, ada suku-suku lain di Indonesia yang juga menggunakan ikat kepala yang menyerupai blangkon. Misalnya suku Sunda, Madura, Bali, dan lain-lain. Namun tentu saja pakem dan bentuk ikatnya berbeda-beda.
Memang pada akhirnya, tidak ada yang tahu pasti, atau tidak ada yang berani memastikan asal mula para pria Jawa memakai tutup kepala seperti itu. Namun itu bukan berarti menghalangi kita untuk mencintai dan dengan bangga memakai pakaian tradisional Indonesia.
Source: www.mindtalk.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar